Rabu, 30 Maret 2011

yang setia


untuk unita dan kolina


kenapa selimut itu begitu setia?


tubuh terbungkus

luka terbakar purnama,


mungkin kau lepas waktu

setelah jeda seperti singgah


dan laju, melesat, menggilas usia.


“selimut itu setia menulis sesuatu pada tubuhku” kau berkata

dan parasmu seperti siang menelusup petang,


“kapan kita akan jalan?” sergahku, mungkin tak ada lagi

kelakar itu

di depan pintu

setelah konsolidasi selesai

dan anak-anak asuh

akan angkat sauh.


kertas ranggas.


demam itu saksi, adikku,

dan gigil

adalah getar organ dalam,

barangkali sekedar berkelakar pada kita:

ada yang mesti

kita hayati

dari yang biasa,


barangkali ada takjub

tak termaktub

atau takdir

tak mengalir.


toh semua itu

dua sungai

dari hulu Satu.


selimut itu masih tertinggal, ternyata


kita terima


segala luka

untuk sesuatu yang baka.


2008

elegi


untuk kedua adikku

yang mendahuluiku: novi dan vicky


jalan itu menyengatku, tuhan,

melepuh batinku.


anak-anak menyayat ufuk barat.


bola hitam pejal menghampiriku.


waktu menggusur

jajaran hutan

di kejahuan,


iring-iringan domba

bersuara

menuju utara.


setelah kecemasan

menyesak,

sebutir kenangan lepas.


tuhan, tapak kakiku

tak terasa menjejak,


kulit langit terkelupas

menyentuh pipiku yang lengas.


di sini aku dipaku,


segera panas bumi

meresap ke tengkukku.


aku masih ingin berkata, tuhan,

tapi lumut terlalu cepat mongering

di lidah waktu,


burung penghisap madu

lahap menyesap sumsumku,


di atas pembaringan

mimpi layu,


dan benih kenangan berkecambah.


kukenakan sayapku kembali

mengejar malaikat yang hilang.


pesan telah terpahat


tuhan, adakah seseorang

menunggu keberangkatanku?


ibuku menggunting kafan

ayahku membikin liang


pucuk-pucuk pinus

meraba pinggang senja


sekuntum melati hitam

jatuh di muka kolam


tuhan, kenapa malam.


2008

Sabtu, 26 Maret 2011

untuk rekan-rekan

hery, andi, afnan, dan ican


dari lantai ke tujuh

kita tunjuk bola lampu.

Bogor menggigil, mengutuk kalbu,

angin memaku.

kita terus membuka helaian kelabu,

hurufpun berlesatan merabu.


dingin bersayap, berbincang perihal

Tuhan turun menuliskan wahyu.

dan kita percaya, intuisi, mungkin ayat purba,

dinisbatkan sebagai amnesti,

sebuah analogi,


bahwa, ada sebentuk makhluk,

akan mengamuk, tak bisa takhluk,

meskipun, benteng itu nyaris remuk.


dan kastil, seperti pernah didongengkan kakek, hening

menjelma kuil,

lalu penghulu jenggala itu

akan turun, merunduk,

berpeluk.


dari lantai ke tujuh

pukul 00.20

kita pegang mata palka,

serupa pelupuk burung hantu, redup,

menjelang perburuan petang.


ada yang datang. ada yang pulang.


“sayang” bisik malam ”menara itu akan tumbang,

turun, berkubanglah berlumur lumpur,

barangkali ada yang akan jadi suci,

walaupun bumi, seperti faham seluruh arti.”


dan kita tak berdaya untuk membuat epilog yang berarti.


tapi, kita dapati sebiji benih

dari kelakar gusar,

nalar orang-orang sukar, pengembara yang tak kenal amar,


apakah setelah ini.


2008

seperti dewi sri


takhluk aku

pada hampar runduk padi


redup nyala dadaku

ditelungkup kerendahan bobotmu


semakin merasuk aku

terasa lembut lumatmu.


2008

salam



percik

pijar serpih

bara api


memantik impetus puisi.


2008

tengadah


khatulistiwa lingkap

“hijau…..hijau…..” seperti teriak Lorca

di dekat pilar Granada.


di sini, insyaf adalah bayang musyaf,

berlembar-eksemplar terlempar

pada marga belantara memar


dan segelintir butir

yang terjatuh

pada buana bersimbah,

berkecambah

dengan ikhtiar penuh, menempuh

mimik pergi, matahari.


2008